Tujuandari desain ini adalah untuk mengalahkan lebih cepat kapal dengan persenjataan serupa, dan mengejar kapal dengan persenjataan yang lebih rendah; mereka bermaksud memburu kapal penjelajah lapis baja yang lebih lambat dan menghancurkannya dengan tembakan senjata yang berat sembari menghindari pertempuran dengan kapal perang yang lebih kuat Aminuddinmenunjukkan kedudukan lokasi kapal dagang MV Amanda yang karam, pada sidang media Operasi Carilamat di Pos Maritim Tanjung Pengelih hari ini. - BERNAMA Operasi carilamat (SAR) susulan kejadian kapal dagang yang karam di timur Tanjung Sepang, dekat sini, diteruskan hari ini dengan usaha pencarian diperluaskan ke 120 batu nautika BALITRIBUNE - Di tengah pekatnya malam, warga Dusun Karangdadi, Desa Kusamba, Klungkung, Rabu malam (12/12) sekitar pukul 22.00 Wita dikagetkan adanya kapal nelayan yang karam di Pesisir Pantai Karangdadi. Kapal Nelayan itu karam setelah sempat menabrak karang di perairan Karangdadi. Kepala BPBD Klungkung I Putu Widiada, Kamis (13/12) menjelaskan, warga mendapati perahu BangsaEropa, dalam hal ini Belanda, kemudian mengklaim daerah-daerah di Indonesia sebagai daerah kekuasaannya. Mereka melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah, yang membuat bangsa Indonesia terjajah. Berikut gambaran kondisi bangsa Indonesia di masa pendudukan Belanda. Baca juga: Sejarah Bengkulu: Asal-usul Nama, Kerajaan, dan Masa Penjajahan Kapalpesiar mewah Italia, Costa Concordia, kandas usai menabrak karang di lepas pantai Tuscan, Italia. Kapal tersebut berisi 4.229 kru dan penumpang. 170 Orang di antaranya adalah WNI. Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd Hỗ Trợ Nợ Xấu. - Pada era kerajaan di Bali, ada sebuah aturan dan undang-undang maritime yaitu undang-undang Tawan Karang. Hukum tersebut merupakan suatu hak yang dimiliki oleh raja dan rakyat pantai untuk merampas kapal atau perahu yang kandas di perairan pantainya. Dimana dalam aturan tersebut, kapal atau perahu yang terdampar hanya boleh ditolong oleh penduduk pantai di wilayah kerajaan itu. Demikian teruangkap dalam sebuah artikel berjudul “Dari Perahu Sri Komala Hingga Puputan; Perlawanan Terhadap Pemerintahan Hindia Belanda 1906” yang dipublikasikan dalamJurnal Sejarah Citra Lekha, volume XVII, nomor 1 tahun 2013 yang kembali dilansir oleh - Jaringan Artikel tersebut ditulis oleh Inna Mirawati dari Arsip Nasional Republik Mirawati menuliskan bagi raja-raja Bali peraturan Tawan Karang merupakan undang-undang maritim warisan nenek moyang yang tidak perlu dipermasalahkan. Namun saat itu Belanda menganggap Tawan Karang ini sebagai perintang yang sangat merugikan aktivitas perdagangannya. Dalam perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 24 Mei 1843 antara pemerintah Hindia Belanda dengan tujuh kerajaan Bali, yaitu Klungkung, Karangasem, Buleleng, Gianyar, Bangli, Payangan dan Mengwi, antara lain mencantumkan masalah Tawan Karang. Belanda menuntut dihapuskannya Tawan Karang Undang-Undang Tawan Karang=Klip Recht. Sedangkan dalam artikel berjudul “Adat Tawan Karang dan Konflik Kekuasaan di Bali dan Lombok pada Abad Ke-19/20” yang ditulis oleh A. A. Bagus Wirawan dari Universitas Udayana yang dipublikasikan dalam Jurnal Sejarah Abad, volume 1, nomor 2 tahun 2017 disebutkan bahwa Adat tawan karang merupakan aturan hukum adat yang berlaku di negara-negara kerajaan di Bali sejak abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Bahkan adat itu telah berlangsung sejak kekuasaan raja-raja Bali Kuno pada sekitar abad ke-9/10. Tawan karang menetapkan peraturan penumpang dan muatan yang berasal dari salah satu kerajaan peserta perjanjian diserahkan kepada raja di perairan tempat terdamparnya kapal. Raja penguasa perairan memberitahukannya kepada raja tempat asal penumpang dan muatan perahu yang kandas. Waktu tebusan 25 hari sejak pemberitahuan tersebut, uang tebusan sebesar 4000 kepeng bagi setiap penumpang laki-laki dan 2000 kepeng bagi setiap penumpang perempuan. Uang tebusan itu menjadi hak raja perairan tempat kandasnya perahu. Separuh dari harga muatan menjadi hak rakyat pantai yang membantu menyelamatkan penumpang serta muatannya. Apabila tebusan tidak dibayar dalam batas waktu yang ditentukan maka penumpang serta separuh harga muatan menjadi milik Raja perairan dan rakyat pantai. Praktek adat karang akhirnya menyulut berbagai perang yang melibatkan kerajaan dan rakyat Bali melawan kekuasaan kolonial dengan ribuan korban yang gugur. Hampir seluruh peperangan diakhiri dengan kekalahan pihak kerajaan. Daftar Isi Asal Usul Hukum Tawan Karang di Bali Pelaksanaan Hukum Tawan Karang Upaya Penghapusan Hukum Tawan Karang - Hukum Tawan Karang di Bali adalah salah satu hukum yang cukup terkenal di masa Tawan Karang mengatur mengenai hak istimewa yang dimiliki oleh raja-raja Bali dan berhubungan dengan masalah kapal yang kini sudah tidak lagi berlaku di Bali tetapi bila kamu penasaran, yuk cari tahu mengenai asal usul dari Hukum Tawan Karang di Bali, cara pelaksanaannya, hingga sejarah bagaimana hukum ini dihapuskan. Hukum Tawan Karang di Bali, atau yang biasa dikenal sebagai Taban Karang, adalah hak istimewa yang dimiliki raja Bali pada masa hukum ini, setiap kerajaan di Bali memiliki hak untuk merampas kapal-kapal asing yang terdampar di perairan e-paper berjudul Perang Bali yang diunggah oleh Rahmad Budiantoro melalui laman Scribd, dalam Hukum Tawan Karang, seluruh isi dari kapal yang terdampar itu menjadi milik kerajaan, mulai dari muatan hingga awak Tawan Karang ini sudah dikenal sejak masa Bali Kuno melalui penemuan 2 buah prasasti, yakni sebagai Bebetin AlPrasasti SembiranKedua prasasti tersebut sama-sama menuliskan hukum yang berlaku apabila terdapat perahu yang lancang datang ke wilayah perairan kerajaan hanya kerajaan Bali saja, hukum ini juga memberi hak istimewa pada penduduk sekitar untuk menawan kapal dan memperbudak para awak di berjalannya waktu, guna menghindari konflik antar daerah, maka diusulkan suatu perjanjian tersebut, wilayah kerajaan di mana kapal terdampar wajib memberi tahu raja asal kapal tersebut mengenai kapalnya yang terdampar. Raja asal kapal tersebut diwajibkan menyiapkan uang tebusan dalam tenggat waktu 25 raja gagal membayar uang tebusan tersebut, maka perahu beserta seluruh isinya akan dirampas oleh raja pemilik daerah di luar perjanjian, maka tidak ada keringanan seperti ini. Perahu akan langsung dirampas tanpa adanya uang tebusan yang harus Hukum Tawan KarangHukum Tawan Karang di Bali dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan kondisi ekonomi kerajaan Bali pada masa awal abad ke-19, ekonomi Bali sebagian besar tergantung pada perdagangan budak keluar Bali. Sekitar 2000 budak diperjualbelikan setiap jurnal Tawan Karang dalam Perpolitikan Kolonial Belanda dengan Raja-Raja Bali Berdasarkan Surat-surat Kontrak Abad Ke-19 karya Muhammad Ilham dan Rahyu Zami, Pulau Bali tidak memiliki potensi sumber daya alam seperti mineral yang dapat itu, dibentuklah Hukum Tawan Karang ini. Hukum tersebut hanya berlaku di Pulau Bali dan tidak di pulau-pulau ini berlaku untuk semua kerajaan otonom di Pulau Bali, terutama yang terletak di pinggiran atau di ada kapal asing yang karam di wilayah karang di pinggiran pantai Pulau Bali, semua yang ada di kapal itu menjadi milik kerajaan di wilayah tersebut. Pemilik kapal sudah tidak mampu lagi mengklaim barang-barang dagang yang ada di Penghapusan Hukum Tawan KarangPelaksanaan Hukum Tawan Karang di Bali mendapat penolakan keras dari pihak ini dikarenakan pihak Belanda merasa dirugikan apabila ada kapalnya yang terdampar di perairan Bali. Semua muatan kapal Belanda bisa langsung jadi milik raja Belanda memang sering menjadi korban dari pelaksanaan Hukum Tawan Karang di Bali satunya adalah ketika Van den Broeke hendak mengirim barang ke Buleleng. Kapalnya malah karam di perairan Bali dan seluruh muatannya awalnya, Belanda meminta keringanan atas Hukum Tawan Karang ini. Pihaknya bersedia untuk membayar uang tebusan apabila ada kapalnya yang terdampar. Hampir semua kerajaan di Bali setuju dengan hal begitu, pada kenyataannya, pihak Belanda sering kali tidak mau membayar uang tebusannya. Hukum Tawan Karang di Bali pun masih tetap pada akhirnya meminta Hukum Tawan Karang ini untuk dihapus sepenuhnya. Ketika itu, pihak Belanda membuat perjanjian untuk menghapus hukum tersebut dengan beberapa kerajaan Badung pada tanggal 28 November 1842Kerajaan Karangasem pada tanggal 1 Mei 1843Kerajaan Buleleng pada tanggal 8 Mei 1843Kerajaan Klungkung pada tanggal 24 Mei 1843Kerajaan Tabanan pada tanggal 22 Juni 1843Meski sudah ada perjanjian untuk menghapus hukum ini, pelaksanaan Hukum Tawan Karang tetap tahun 1844, setahun setelah perjanjian dibuat, kapal Belanda kembali karam di daerah Pantai Perancak dan Sangsit. Berbeda dengan yang tertulis di perjanjian, kapal-kapal yang karam itu tetap dirampas raja tahun 1845, Kerajaan Buleleng akhirnya menolak untuk mengesahkan penghapusan Hukum Tawan Karang. Hal ini membuat Belanda mengadakan perang dengan Bali, yakni padaPerang Bali I tahun 1846Perang Bali II tahun 1848Perang Bali III tahun 1849Setelah perang terjadi antara Belanda dengan Bali, maka perjanjian penghapusan Hukum Tawan Karang di Bali dilanjutkan dengan beberapa kerajaan Bangli pada tanggal 25 Juni 1849Kerajaan Jembrana pada tanggal 30 Juni 1849Kerajaan Gianyar pada tanggal 13 Juli 1849Pada tanggal 13-15 Juli 1849, ditandatangani pula perjanjian perdamaian antara kerajaan di Bali dengan pihak Belanda. Raja-raja Bali juga sepakat untuk tidak lagi memberlakukan Hukum Tawan Karang dia beberapa hal seputar asal usul Hukum Tawan Karang di Bali untuk menambah wawasan. Bagaimana, kini sudah tidak lagi bingung mengenai hukum adat yang satu ini, bukan? Simak Video "Pesona Wisata Sumenep Pantai, Sejarah, dan Tradisi" [GambasVideo 20detik] khq/inf - Hukum Tawan Karang adalah hukum yang memberi hak kepada raja untuk menguasai kapal beserta isinya yang terdampar di wilayahnya. Hukum ini telah menjadi bagian dari hukum adat di bidang maritim yang dilaksanakan oleh raja-raja di Bali dan Lombok selama berabad-abad. Pada masa penjajahan, keberadaan hukum ini mengusik Belanda, yang kemudian menuntut penguasa Bali untuk mengapa Belanda menginginkan Hukum Tawan Karang dihapus? Baca juga Hukum Tawan Karang Pengertian, Pelaksanaan, dan Penghapusan Apa itu Hukum Tawan Karang? Hukum Tawan Karang memberi hak kepada para penguasa kerajaan Bali untuk menawan dan menguasai seluruh isi kapal asing yang terdampar di perairannya. Dapat dikatakan bahwa hukum ini juga memberi wewenang kepada penduduk yang tinggal di tepi pantai untuk menawan kapal yang kandas beserta segala muatannya dan penumpang-penumpangnya dapat diperbudak atau dibunuh. Untuk menghindari permasalahan, raja-raja di Bali dan Lombok yang menerapkan Hukum Tawan Karang membentuk sebuah perjanjian. Dalam peraturan yang disepakati, disebutkan bahwa raja tempat kapal terdampar harus memberi tahu raja dari tempat asal perahu. Raja dari asal perahu akan diberi tenggang waktu selama 25 hari untuk membayar uang tebusan dalam jumlah tertentu. Apabila tebusan tidak dibayar tepat waktu, maka penumpang beserta separuh muatan perahu dapat dirampas dan diberikan kepada raja pemilik pantai. Baca juga Kerajaan Bali Berdiri, Raja-raja, Kehidupan Sosial, dan Peninggalan Jika Anda orang Jakarta atau sedang ada di Jakarta, kunjungilah Museum Bahari di Jakarta Utara untuk melihat pameran Pertempuran Laut Jawa atau Battle of the Java Sea. Pameran yang dibuka sejak Maret tahun ini masih akan dibuka untuk publik hingga 2018. Apa itu Pertempuran Laut Jawa? Tujuh puluh lima tahun yang lampau, angkatan laut Australia, Inggris, AS, dan Belanda mengalami kekalahan telak melawan Jepang di selat-selat sempit dan lautan di Indonesia. Tinggalan kapal perang Perang Dunia II yang karam di Laut Jawa dan Selat Sunda adalah persemayaman terakhir dari ribuan pelaut pasukan Sekutu. Situs-situs ini dianggap sebagai kuburan perang bagi para penyintas dan keturunannya, sesuai dengan tradisi maritim lama yang menghormati jasad manusia di tinggalan kapal. Maka bisa dipahami, syok dan kekecewaan meliputi para anggota tim internasional yang meneliti kapal karam di Laut Jawa pada November 2016 ketika mereka mendapati paling tidak empat kapal Belanda dan Inggris—dan satu kapal selam Amerika Serikat yang seluruh krunya ditangkap hidup-hidup—hilang dari dasar laut sedalam 70 meter. Kapal-kapal itu berukuran besar. HMS Exeter, misalnya, adalah “heavy cruiser” berukuran 175 meter, lebih panjang dari tiga kolam ukuran Olympic. Kapal-kapal Sekutu lainnya di perairan Indonesia juga telah rusak. Bukti mengindikasikan kapal-kapal itu hilang karena dicuri, atau diangkat dari dasar laut, karena besi-besi yang berada di dasar laut bernilai tinggi. HMAS Perth pada tahun 1942. Australian War Memorial Sejarah berulang Penodaan tinggalan kapal-kapal di Laut Jawa tidak mengejutkan bagi mereka yang paham dengan kondisi warisan budaya di bawah laut di Indonesia. Tahun lalu, Inside Indonesia melaporkan upaya pencegahan kerusakan untuk dua kapal karam Sekutu lainnya di Indonesia, yaitu HMAS Perth dan USS Houston di Selat Sunda lebih tepatnya di Teluk Banten. Kapal angkatan laut ini diserang oleh Jepang pagi buta pada 1 Maret 1942, dan tenggelam bersama dengan ribuan nyawa yang karam bersamanya. Pada 2013, ada beberapa laporan mengenai tongkang-tongkang yang mengambil potongan-potongan besi dari lokasi-lokasi tersebut. Meskipun pemerintah Indonesia tidak diidentikasi keterlibatannya dalam operasi pengambilan kapal karam, pemerintah dikritik karena tidak melakukan apa-apa untuk melindungi tinggalannya. Penyelam wisata yang bermaksud baik juga disinggung terlibat. Direktur eksekutif dari Asosiasi Penyintas USS Houston berkomentar tentang pengambilan trompet dari USS Houston Kami tidak tahu ada berapa banyak penyelam semacam ini yang mengambil dari kapal kami […] dan menyimpan benda itu untuk kepentingan pribadi mereka, “mencuri” sesuatu yang sesungguhnya bagian dari kenangan abadi dari mereka yang dengan keberanian dan dedikasi berjuang di kapal-kapal perang ini. Kelompok-kelompok advokasi di Australia telah lama meminta pemerintah Australia untuk melindungi HMAS Perth. Baru-baru ini pemindaian sonar mengonfirmasi bahwa USS Houston tetap utuh, tetapi hal yang sama tidak bisa dipastikan untuk HMAS Perth. Terlepas dari operasi-operasi penyelaman oleh penyelam Australia dan Indonesia, beberapa orang merasa penyelamatan sudah terlambat bagi HMAS Perth. Untuk apa mencuri kapal? Tinggalan kapal angkatan laut sama dengan sejumlah besar besi tua yang menawarkan potensi besar untuk dijual. Jumlah raksasa dari besi tua sebuah kapal bisa bernilai hingga Rp10 miliar. Baling-baling perunggunya saja bisa berharga ratusan juta rupiah satunya. Baca juga Gerak cepat demi mengamankan 50 kapal karam dari penjarah di Asia Tenggara Kecil kemungkinan pengangkatan kapal dilakukan tanpa diketahui orang lain sama sekali. Kapal karam di Laut Jawa berada di dekat salah satu pangkalan angkatan laut terbesar di Surabaya, maka kegiatan mencurigakan—apalagi dampak lingkungan yang kelihatan seperti tumpahan minyak—kecil kemungkinan bisa lewat begitu saja tanpa ketahuan oleh kapal patroli yang lewat. Menyelam di HMAS Perth. Shinatria Adhityatama/Pusat Arkeologi Nasional Arkenas Mengangkat tinggalan kapal dari dasar laut membutuhkan waktu, keahlian , dan uang. Operasi pengangkatan di Asia Tenggara juga tampaknya telah semakin canggih. Di negara lain di wilayah Asia Tenggara kapal-kapal yang menyamar sebagai kapal ikan digunakan untuk mengangkat tinggalan. Tetapi percakapan saya dengan orang-orang yang paham masalah ini mengindikasikan bahwa kapal karam di Laut Jawa kemungkinan besar diangkat menggunakan alat besar yang disebut sebagai “claw barge” atau tongkang bercakar. Dengan alat ini, jumlah penyelam yang dibutuhkan bisa dikurangi, dan, jika dioperasikan bersama dengan peralatan pencitraan khusus seperti pemindai sonar, maka pengangkatan akan sangat efisien. Orang-orang yang paham masalah ini juga menduga kru dari tongkang ini bersenjata. Para penambang tidak menimbang aspek sejarah dan arkeologis yang signifikan dari kapal karam ini. Saksi bisu Pengangkatan baling-baling dan trompet adalah satu masalah. Tetapi penodaan kuburan perang jelas-jelas merupakan aspek yang paling memprihatinkan dari kisah ini. Keberadaan jasad manusia di kapal karam tidak menghentikan para penambang tidak sah dari kegiatan jahat mereka. Namun demikian, status hukum dari kuburan perang di bawah air memang masih ambigu. Tidak ada konsensus internasional berkenaan dengan jasad manusia atau kapal karam, dan tanggung jawabnya ada di negara untuk menyiapkan hal-hal yang diperlukan hingga suatu kuburan perang diakui. Di bawah undang-undang di Indonesia, suatu objek yang lebih tua dari 50 tahun bisa dikatakan sebagai warisan budaya. Tetapi tak ada satu pun tinggalan yang disebut di artikel ini yang telah diresmikan sebagai warisan budaya. Bahkan tak ada satu pun situs bawah laut yang terdaftar sebagai warisan budaya. Mengalihkan tanggung jawab Komunitas internasional telah mengutuk hilangnya kapal karam Laut Jawa. Pihak Belanda telah memulai suatu investigasi dan Kementerian Pertahanan Inggris juga telah menyatakan keprihatinan mendalam berkait “gangguan tidak sah terhadap kapal karam yang berisi jasad manusia”, dan meminta pemerintah Indonesia untuk mengambil “tindakan yang tepat”. Ketika berita tentang hilangnya kapal itu muncul, kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Bambang Budi Utomo, berkata Pemerintah Belanda tidak bisa menyalahkan pemerintah Indonesia karena mereka tidak pernah meminta kami untuk melindungi kapal-kapal mereka. Karena tidak ada kesepakatan atau pengumuman, ketika kapal-kapal itu hilang, itu bukan tanggung jawab kami. Juru bicara Angkatan Laut Indonesia, Kolonel Gig Jonias Mozes Sipasulta, juga memberi pernyataan senada dengan sikap resmi Indonesia, bahwa Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat seharusnya bekerja lebih keras untuk melindungi tinggalan kapal karam. Angkatan Laut Indonesia tidak dapat memantau semua wilayah sepanjang waktu. Kalau mereka bertanya mengapa kapal-kapal itu hilang, saya akan bertanya balik, mengapa mereka tidak menjaga kapal-kapalnya? Meskipun Indonesia dengan segera menyatakan komitmen untuk membantu penyelidikan atas misteri tinggalan kapal yang hilang, tetapi pesan-pesan yang sebelumnya telah jelas-jelas merusak reputasi Indonesia—yang selama ini juga sudah bermasalah—berkaitan dengan warisan budaya di bawah air. Daripada bertukar sindiran-sindiran diplomatis, Indonesia dan negara-negara yang memiliki kapal perang itu mestinya bekerja sama. Belakangan, Belanda dan Indonesia telah mengadakan serangkaian pertemuan untuk menginvestigasi penyebab hilangnya kapal karam Belanda. Mengurangi kerapuhan Peneliti Indonesia dari Pusat Arkeologi Nasional dan peneliti Australia telah meneliti HMAS Perth sejak 2015, menilai kondisi dan kerapuhannya. Penelitian tersebut menemukan bahwa 60% dari tinggalan telah dirusak oleh para penambang. Ada ancaman-ancaman lain juga, termasuk turis penyelam yang kelewat bersemangat, kegiatan menambang pasir laut, lalu lintas kapal, dan polusi dari pembangunan pesisir di Teluk Banten. Tahun lalu, para peneliti mengadakan diskusi lokal untuk meningkatkan kesadaran tentang situs-situs kapal karam, yang mereka percaya sebagai kunci dari pengurangan kerusakan pada situsnya. Tim proyek juga menimbang untuk menjadikan situs sekitar HMAS Perth sebagai wilayah konservasi maritim. Saran lain termasuk membuat tanda pemberitahuan dan merangkul masyarakat sekitar dalam kegiatan peringatan. Ada juga upaya meningkatkan kesadaran di luar wilayah Banten. Di Jakarta, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mendirikan Galeri Barang Muatan Kapal Tenggelam di kantor kementerian bulan Maret lalu. Galeri Barang Muatan Kapal Tenggelam di Kementerian Kelautan dan Perikanan di Jakarta menampilkan ribuan harta karun dari tiga lokasi bersejarah – Pulau Buaya di Nusa Tenggara Timur; Batu Hitam di Bangka Belitung; dan Cirebon di Jawa Barat. Kementerian Kelautan dan Perikanan Di Sulawesi, salah satu tujuan dagang bahari yang paling sibuk di Indonesia, ada rencana untuk membuka Pusat Pelatihan Warisan Budaya Bawah Laut di bangunan bersejarah Fort Rotterdam di Makassar. Di tingkat internasional, United Nations’ Ocean Conference telah bertemu di New York bulan Juni untuk membicarakan bagaimana menahan penurunan mutu lingkungan laut dunia. Sejauh ini masalah warisan budaya bawah laut tidak masuk dalam agenda diskusi. Maka bola ada tangan para pejabat PBB untuk memastikan bukan hanya kehidupan bawah laut, tetapi juga warisan budayanya, yang mendapat perhatian. Kapal perang karam memiliki makna penting secara kesejarahan dan emosional. Mereka harus dihargai lebih dari sekadar benda-benda yang bisa dijual. Artikel ini diterjemahkan dan dimutakhirkan oleh penulis dari artikel aslinya untuk mencerminkan perkembangan terakhir terkait isu ini. ANJawaban B. Menyita semua isi kapal termasuk para awaknya jika ada kapal yang karam di perairan selat bali Hukum Tawan Karang merupakan hukum yang berlaku di kerajaan - kerajaan Bali. Isi dalam hukum tersebut adalah jika ada kapal yang karam dalam sebuah wilayah, maka segala muatan kapal termasuk kru kapal akan menjadi milik kerajaan yang berada di wilayah tersebut. Hukum ini mendapat protes keras dari Belanda dan negara - negara lain yang melintasi wilayah Bali. Ketika protes ini tidak dihiraukan oleh kerajaan - kerajaan di wilayah Bali, Belanda kemudian memutuskan mengirimkan ekspedisi militer untuk menghancurkan semua kerajaan di Bali. Dengan demikian, jawaban yang benar adalah akses pembahasan gratismu habisDapatkan akses pembahasan sepuasnya tanpa batas dan bebas iklan!

kapal kapal dagang belanda yang karam di bali dikenakan hukum